Rab. Jul 30th, 2025
[Inyong Maulana, Ketua Pokja Jurnalis Dewan Kota Surabaya (JUDES) Indonesia]

Cerpen | AbangPutih.comGenap tiga tahun pada 17 Juli 2025 keberadaan media sosial (medsos) Jurnalis Dewan Surabaya (Judes) Indonesia berkembang di lingkungan DPRD Kota Surabaya. Judes Indonesia merangkum karya-karya para jurnalis dari berbagai media yang saban hari melakukan kegiatan peliputan di gedung rakyat tersebut berisi flatform media seperti youtube, tiktok, facebook, instargam, dan website pemberitaan.

Alhasil, keberadaanya cukup memberi warna yang menarik di kalangan pegiat jurnalistik di Kota Surabaya. Ini lantaran keberadaanya yang beranggotakan puluhan jurnalis dari berbagai media mampu menciptkan karya-karya serta berbagai kegiatan. Jarang ada. Atau bahkan tidak ada di komunitas wartawan sekelas Kelompok Kerja (Pokja) lain.


Kalaupun ada, umurnya tidak berlangsung lama. Sementara Judes Indonesia mampu bertahan hingga tiga tahun. Jurnalis-jurnalis muda yang melek teknologi menjadi kekuatan utama Judes Indonesia, sementara para jurnalis senior menjadi suporting beragam ide dan gagasan yang kerap kali muncul secara tiba-tiba.

Termasuk, usulan menggelar peringatan ulang tahun Judes Indonesia ke-3 yang dua tahun sebelumnya tidak pernah dirayakan.

Mengingat ide dan gagasan yang terlontar dari para jurnalis yang cukup mendadak, mengingatkan tentang cerita legenda Bandung Bondowoso.

Dalam semalam, Bandung Bondowoso ‘dipaksa’ membuat seribu candi oleh Roro Jonggrang, putri Kerajaan Prambanan yang digambarkan cantik jelita, menawan, dan yang jelas memiliki body aduhai demi keinginannya menjadikan Roro Jonggrang sebagai permaisuri.


“Sanggup!,” ujar Bandung Bondowoso yang menjadi pimpinan Pasukan Pengging dan berhasil menaklukkan Prambanan.

Roro Jonggrang yang sejatinya tidak begitu suka memberi syarat yang cukup berat bagi orang biasa. 1.000 candi harus dibuat dalam satu malam. Cerita legenda ini kemudian menggambarkan bagaimana Bandung Bondowoso mengerahkan pasukan jin, hasilnya 999 candi berhasil dibangun menjelang pagi, sebelum kokok ayam berbunyi.


“Gawat, jadi ternyata,” pekik Roro Jonggrang heran sekaligus takut. Dari situ kemudian muncul ide dan gagasanya untuk menggagalkan pembuatan 1.000 candi meski dirinya kemudian diceritakan menjadi salah satu arca di salah satu candi yang membuat garapan Bandung Bondowoso genap 1.000 unit candi.

Caita ini kemudian terngiang di telinga dan tersirat dalam pikiran saat gagasan menggelar ulang tahun Judes Indonesia yang hanya digagas sehari sebelumnya.

“Ini mustahil, kalaupun bisa paling sekadar tumpengan saja sambil ngopi dan guyon ngalor ngidul,” ucap saya pada salah satu jurnalis yang hanya bisa memegang kepala saat ide itu didiskusikan.


Puluhan jurnalis kemudian ikut nimbrung dan dalam diskusi yang terus berkembang ke arah teknis pelaksanaan, property dan beragam acara formalitas yang nantinya digelar. Ini dibahas dalam sehari dan besok harus digelar. Beruntung, semangat jurnalis-jurnalis muda mampu membuat kami optimis.

Bergeraklah mereka, ada yang langsung desain banner, ada yang setting tempat, pembawa acara sudah otomatis lantaran beberapa anggota Pokja ada yang pernah dan sedang bekerja di stasiun-stasiun radio.


Celar!, belum. Konsumsi belum dibahas. Lantaran buntu, hanya persoalan teknis dan acara semi formal yang dibahas. Malamnya, beberapa jurnalis ‘resah’ karena diskusi tidak membahas konsumsi. Beberapa berinisiatif untuk mengirim makanan, suka rela.

Paginya, lontong kikil, polo pendem, es buah, bahkan tumpeng dengan dua gunungan nasi kuning sudah berjajar rapi di meja pressrom, tempat kami biasa berdiskusi.

Tidak ada sound sistem apalagi sound horeg, yang lagi viral, saat puluhan jurnalis mulai berdatangan. Undangan pun tidak disebar, takut mengecewakan dan malah merepotkan kolega terutama Β para wakil rakyat yang setiap hari berkantor di Jl Yos Sudarso tersebut. Beruntungnya, sebagian besar anggota dewan sedang berkegiatan di luar.


Saat detik-detik perayaan ulang tahun kian mendekat yang dijadwalkan pukul 12.00 WIB, tiba-tiba kawan jurnalis datang membawa dua kresek putih berisi ‘Mendoan’.

Sembari menunggu pembukaan, mendoan berbahan tempe dan tepung yang digoreng tipis dengan tekstur lemas menjadi santapan ringan para jurnalis. Petis dan lombok ijo (cabe hijau) jadi pelengkap rasa hingga terlihat beberapa jurnalis terkesan dengan rasanya.


“Enak, lemes. Empuk di dalam gurih di luar,” ujar salah satu kawan dari media online lokal.

Empuk di dalam, gurih di luar. Itulah sifat varian salah satu gorengan bernama Mendoan. Tidak banyak yang tahu mendoan berasal.

Beda dengan jenis makanan atau camilan lain yang bisa diketahui langsung asal muasalnya. Mendoan, yang kini sudah bertransformasi menjadi ‘camilan nasional’ diketahui berasal dari jalur sutra menuju Yogyakarta dari Tegal,
Bumiayu Brebes, Ajibarang hingga ke Purwokerto dan Banyumas.

Teksturnya yang lemas saat dipegang menjadi penamaan identitas produk tersebut. Mendoan, sebagaimana penuturan orang-orang di lokasi varian salah satu gorengan itu berasal dari kata ‘Mendo’ dengan akhiran ‘an’. Inilah yang kemudian menjadikan penulis menyebutnya sebagai salah satu varian gorengan. Mendo, sebagaimana dialek warga setempat bermakna belum matang, atau setengah matang. Makanya, gorengan yang dihasilkan mendo (lemas). Karena varian goreng-an, maka warga menambahkanya dengan akhiran ‘an’. Jadilah ‘Mendoan’ yang berbeda dengan gorengan berbahan dasar tempe dan tepung pada umumnya dengan tekstur keras.

Camilan ini kemudian melegenda, tentu belum sesanter cerita Roro Jonggrang yang bahkan sudah masuk buku-buku cerita. Namun, banyak yang keliru dalam memberi penamaan dimana gorengan tempe dengan tekstur keras pun kerap dinamai mendoan.

Kalau bisa bicara, mungkin mendoan akan protes, “Kami beda dengan gorengan, kami mendoan”.

Lamunan tentang mendoan buyar saat kawan jurnalis mulai membuka acara. Satu, dua, tiga proses berjalan lancar.Tidak ada tamu yang hadir karena memang acara mendadak dan khusus para jurnalis dewan. Hanya ada Kepala Biro LKBN Antara Jatim yang datang dadakan lantaran mengetahui dari status whatsapp semalam sebelumnya.

Acara tetap berlangsung meriah, guyonan, candaan, dan diskusi-diskusi kecil para jurnalis terjadi di sudut gedung dewan. Akrab!.

Dari cerita legenda Roro Jonggrang, Jurnalis Dewan Surabaya belajar tentang kemungkinan dari ketidakmungkinan dengan modal kebersamaan dan perkawanan, belajar tentang pendirian dan keteguhan dalam menjalani profesi. Sementara ‘Mendoan’ memberi masukan bahwa tugas-tugas jurnalistik masih banyak yang belum matang, perlu perbaikan sana sini dalam berkarya dan berorganisasi.

Di akhir acara saat sesi foto bersama berlangsung. Datang perempuan mungil, centil, usianya sudah 50-an. Ikut foto bahkan jadi satu-satunya perempuan dalam deretan puluhan laki-laki Jurnalis Dewan Surabaya. Bukan Roro Jonggrang dan tidak membawa mendoan, melainkan salah satu anggota dewan.

Dia pun lantang berucap, “Selamat Ulang Tahun ke-3 Jurnalis Dewan Surabaya!!”
.



[Oleh: Inyong Maulana, Ketua Pokja Wartawan DPRD Surabaya]

error: Content is protected !!