Ming. Okt 19th, 2025
[Urugan batu kapur di Kawasan Mangrove Kalianak]

Surabaya | AbangPutih.com – Pada akhir bulan September 2025 ini secara mengejutkan terjadi laporan yang berasal dari pesan WhatsApp group para nelayan di Surabaya adanya urugan batu kapur di Kawasan Mangrove kalianak dengan luasan panjang 300 meter lebar 7 meter dan tinggi 5 meter. Yang mengejutkan, hingga hari ini tidak ada tindakan apapun dari pemerintah kota dan provinsi.

Padahal Urugkan tanah kapur ke atas lahan Mangrove adalah tindakan yang langsung menyerang jaringan hidup pesisir, termasuk akar-akar pneumatofor tercekik, pori-pori sedimen yang menyimpan oksigen tertutup, dan struktur topografis yang memungkinkan pasang dan surut terganggu.

Akibatnya, fungsi habitat bagi benih ikan, udang, kepiting, dan gastropoda runtuh. Zona riak yang semula menjadi nursery ground menjadi datar, miskin nutrien, dan berasiditas yang tidak wajar. Literatur ekologi pesisir menegaskan bahwa konversi atau penimbunan lahan mangrove mengakibatkan penurunan keanekaragaman dan produktivitas bentik, serta memutus jaring-jaring trofik lokal yang vital bagi biota laut muda.

Dikatakan oleh Ali Yusa, S.T., M.T., selaku Pengurus Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Jatim, dari perspektif kimia dan fisika perairan, masuknya material kapur mengubah pH sedimen dan melepaskan ion kalsium dalam jumlah besar. Hal ini berpotensi mematikan mikrofauna dan mikroba pengurai yang menjaga siklus nutrien. Endapan kapur juga mempercepat pengurungan sedimen halus sehingga meningkatkan turbiditas kolom air pada saat pasang.

Fenomena yang secara langsung menurunkan penetrasi cahaya, mematikan lamun dan mikroalga fotosintetik, serta menurunkan produksi primer ekosistem pesisir. Studi internasional menghubungkan perubahan sedimen dengan penurunan layanan ekosistem mangrove, termasuk akumulasi karbon dan perlindungan garis pantai.

“Dampak biologis tampak cepat, yaitu kematian massal moluska, berkurangnya bentukan kepiting bakau, dan menurunnya rekrutan ikan. Efek kumulatifnya adalah gangguan ekonomi nelayan skala kecil yang bergantung pada pasokan benih dan tangkapan lokal yang mengakibatkan mata pencaharian terancam dan meningkatnya tekanan sosial,” katanya, Rabu (01/10/2025).

“Di lapangan, perubahan tersebut tampak sebagai garis pantai yang “tegas” namun steril. Kawasan yang dulunya hidup tereduksi menjadi padang kapur yang tidak mendukung kehidupan. Penelitian kasus-kasus kerusakan mangrove akibat penimbunan menyatakan bahwa pemulihan alami membutuhkan waktu puluhan tahun tanpa intervensi restorasi yang tepat,” imbuhnya.

Dari ranah hukum dan tata ruang, menurut Ali Yusa, tindakan penimbunan lahan mangrove dapat melanggar sejumlah ketentuan, yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (pencemaran dan perusakan lingkungan), dan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (perlindungan fungsi pesisir), serta Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri terkait pengelolaan kualitas air dan limbah berbahaya.

“Di level daerah, Perda Kota Surabaya tentang Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (Perda No.7/2002) serta Perda RTRW Kota Surabaya 2025–2045 harus dijadikan rujukan, bahkan Perda Provinsi Jawa Timur tentang RTRW 2023–2043 menggariskan perlindungan kawasan pesisir. Pelanggaran pemanfaatan RTH atau konversi fungsi kawasan hijau menjadi urugan tanpa izin adalah pelanggaran administrasi dan potensial pidana lingkungan,” tegasnya.

Ali Yusa mengatakan, peran institusi pemerintahan harus bersifat komando, terkoordinasi, dan tidak boleh tumpang-tindih. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya dan Provinsi Jawa Timur wajib segera melakukan inspeksi teknis, pengambilan sampel sedimen, dan pemantauan kualitas air.

Temuan teknis harus didokumentasikan sebagai bukti jika terjadi proses penegakan hukum. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) di tingkat kota dan provinsi harus mengeluarkan advis ekosistem—melakukan assessment kerusakan biota dan merekomendasikan tindakan pemulihan (restorasi mangrove, transplantasi, dan pemulihan nursery).

“Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) harus bertindak sebagai ujung tombak penertiban lapangan, termasuk menghentikan kegiatan urugan ilegal, mengawal eksekusi perintah pembongkaran, dan mengamankan lokasi sampai DLH/DKP menyelesaikan kajian. Semua langkah harus berbasis bukti, terdokumentasi, dan diambil cepat seperti operasi lapangan,” tegasnya lagi.

Secara prosedural, langkah prioritas yang diharapkan adalah:

(1) Penerbitan perintah penghentian aktivitas oleh Satpol PP atas dasar rekomendasi DLH.
(2) Pengamanan sampel dan pembuatan berita acara lingkungan.
(3) Penilaian dampak lingkungan darurat oleh tim DLH-DKP terpadu.
(4) Pemberitahuan kepada Kejaksaan atau aparat penegak hukum jika ditemukan indikasi tindak pidana lingkungan.
(5) Perencanaan restorasi jangka menengah oleh pemda dengan melibatkan masyarakat pesisir.

“Bila pemanfaatan RTH bertambah luas tanpa proses perizinan yang sah, maka pemda wajib menindak tegas sesuai Perda dan Peraturan Menteri yang relevan,” ujarnya.

Ali Yusa mengungkapkan, pendekatan aparat harus mengedepankan prinsip preventif dan represif. Preventif melalui patroli lingkungan dan sosialisasi peraturan, sedangkan represif melalui penindakan administratif dan pidana bila ada bukti kuat.

Namun, Ali Yusa menambahkan, penegakan tak boleh semata-mata hukuman, karena harus diikuti program restorasi yang melibatkan publik dan pelibatan komunal nelayan, LSM ekologi, dan akademisi untuk mempercepat rehabilitasi habitat. Model komando ini mengutamakan accountability termasuk setiap instansi (DLH, DKP, DKPP—Catatan: DKPP biasanya terkait pertamanan/penataan kota; pastikan nomenklatur lokal) melaporkan perkembangan secara berkala kepada gubernur/walikota hingga pemulihan tercapai.

“Jadi urugan tanah kapur di kawasan mangrove adalah tindakan agresif terhadap fungsi ekologi yang berujung pada kerugian biologis, ekonomi, dan sosial, yang sama beratnya dengan pelanggaran tata ruang dan perundang-undangan,” ungkapnya.

Terakhir, Ali Yusa yang juga sebagai pemerhati lingkungan menyampaikan, bahwa respon yang diharapkan adalah pemerintah gerak cepat, terukur, dan tegas dari DLH, DKP, Satpol PP, serta koordinasi antara kota dan provinsi. Disamping itu, tindakan tersebut harus menjadikan peraturan nasional dan daerah sebagai landasan hukum, sementara upaya restorasi dan pemulihan menjadi prioritas strategis.

“Jika aparat bergerak sigap, tanggap dan membekukan aktivitas, mengusut pelaku, dan memimpin restorasi, maka kerusakan mungkin dapat diminimalisir. Bila tidak, dampaknya akan menjadi beban panjang bagi ekosistem pesisir dan generasi yang akan datang,” pungkasnya.

error: Content is protected !!